Senin, 15 April 2013

Kesenian Pathol Sarang



Kesenian Pathol Sarang
Tradisi Peninggalan Majapahit

KESENIAN tradisional Pathol Sarang bisa dibilang menjadi salah satu kesenian tradisional khas Kabupaten Rembang yang tidak dimiliki  daerah lain. Meski tampilnya kini tidak sesering saat awal kemunculan dulu, namun Pathol Sarang hingga kini masih tetap terjaga di masyarakat, khususnya kaum nelayang di Kecamatan Sarang dan Kecamatan Kragan.

Bahkan para nelayan di sepanjang pantai utara jawa (pantura) Rembang dari ujung barat kaliori, Pacar Gegunung, Rembang, Lasem, Bonang, Pandangan, sampai Kragan dan Sarang di ujung timur, sudah sangat mengenalnya.

Disebut Pathol Sarang , karena seni gulat tradisional ini berkembang awalnya dari (kaum nelayan) Kecamatan Sarang. Pathol berasal dari katamathol/kepathol (tidak bisa bergerak). Para nelayan setempat kerap minta tolong temannya, saat perahunya kepathol tak bisa bergerak (terkunci) karena kandas.

Dari istilah itu, dalam pertarungan pathol dua pria berhadapan. Berusaha saling mengunci satu sama lain (lawannya). Sampai salah satu di antaranya benar-benar terkunci dan menyerah atau dinyatakan kalah.

Pengiat pathol Sugiyanto mengatakan, bentuk pertunjukannya, selain ada pemain juga ada panjak (pengrawit) untuk mengiringi para pemain pathol. Minimal dibutuhkan lima orang pengrawit yang memainkan kendang, kempul (gong kecil), lenong, bonang, terompet, dan saron.

Pertunjukannya, layaknya pertandingan gulat. Nama pathol juga ada dalam Bahasa Sansekerta yang berarti orang tak terkalahkan. “Kesenian ini lahir pada era Kerajaan Majapahit. Saat itu pangeran Sri Sawardana, adik penguasa Lasem Bhree Lasem (Dewi Hindu), berniat membentuk prajurit angkatan laut untuk mengamankan pelabuhan di Tuban, Jawa Timur,” ungkapnya.

Para “pelamar” kemudian diadu untuk mencari siapa yang paling kuat melalui pertandingan semacam gulat. Pemain dilarang memukul, menendang, atau menyikut. Mereka saling memegang udhet atau kain sepanjang 1,5 meter milik lawan yang diikat di masing-masing perut pemain.
Mereka kemudian berusaha saling membanting lawannya. Tradisi ini bertahan hingga penjajahan dan pasca kemerdekaan. Namun dalam perkembangannya, pathol tak lagi digunakan untuk mencari prajurit. Namun bergeser untuk ajang perjudian. Hingga tak jarang istri para pemain pathol yang dijadikan barang taruhan. “Karena sudah jauh menyimpang, para tokoh masyarakat akhirnya menghapus taruhan. Uang taruhan diganti hadiah yang nilainya sudah ditentukan panitia,” terangnya. (Radar Kudus-14-04-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda