Kesenian Pathol Sarang
Tradisi Peninggalan Majapahit
KESENIAN
tradisional Pathol Sarang bisa dibilang menjadi salah satu kesenian tradisional
khas Kabupaten Rembang yang tidak dimiliki
daerah lain. Meski tampilnya kini tidak sesering saat awal kemunculan
dulu, namun Pathol Sarang hingga kini masih tetap terjaga di masyarakat,
khususnya kaum nelayang di Kecamatan Sarang dan Kecamatan Kragan.
Bahkan para
nelayan di sepanjang pantai utara jawa (pantura) Rembang dari ujung barat
kaliori, Pacar Gegunung, Rembang, Lasem, Bonang, Pandangan, sampai Kragan dan Sarang di ujung timur, sudah sangat mengenalnya.
Disebut Pathol Sarang , karena seni gulat tradisional ini berkembang awalnya dari (kaum
nelayan) Kecamatan Sarang. Pathol berasal dari katamathol/kepathol
(tidak bisa bergerak). Para nelayan setempat kerap minta tolong temannya, saat
perahunya kepathol tak bisa bergerak (terkunci) karena kandas.
Dari istilah
itu, dalam pertarungan pathol dua pria berhadapan. Berusaha saling mengunci
satu sama lain (lawannya). Sampai salah satu di antaranya benar-benar terkunci
dan menyerah atau dinyatakan kalah.
Pengiat pathol
Sugiyanto mengatakan, bentuk pertunjukannya, selain ada pemain juga ada panjak
(pengrawit) untuk mengiringi para pemain pathol. Minimal dibutuhkan lima orang pengrawit
yang memainkan kendang, kempul (gong kecil), lenong, bonang, terompet, dan
saron.
Pertunjukannya,
layaknya pertandingan gulat. Nama pathol juga ada dalam Bahasa Sansekerta yang
berarti orang tak terkalahkan. “Kesenian ini lahir pada era Kerajaan Majapahit.
Saat itu pangeran Sri Sawardana, adik penguasa Lasem Bhree Lasem (Dewi Hindu),
berniat membentuk prajurit angkatan laut untuk mengamankan pelabuhan di Tuban,
Jawa Timur,” ungkapnya.
Para “pelamar”
kemudian diadu untuk mencari siapa yang paling kuat melalui pertandingan
semacam gulat. Pemain dilarang memukul, menendang, atau menyikut. Mereka saling
memegang udhet atau kain sepanjang 1,5 meter milik lawan yang diikat di
masing-masing perut pemain.
Mereka kemudian berusaha saling membanting lawannya. Tradisi
ini bertahan hingga penjajahan dan pasca kemerdekaan. Namun dalam
perkembangannya, pathol tak lagi digunakan untuk mencari prajurit. Namun bergeser
untuk ajang perjudian. Hingga tak jarang istri para pemain pathol yang
dijadikan barang taruhan. “Karena sudah jauh menyimpang, para tokoh masyarakat
akhirnya menghapus taruhan. Uang taruhan diganti hadiah yang nilainya sudah
ditentukan panitia,” terangnya. (Radar Kudus-14-04-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda